"BOM WAKTU" PERFILMAN INDONESIA

00.13 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA /

"BOM WAKTU" PERFILMAN INDONESIA

Tanaman yang sehat dan subur membutuhkan bukan hanya bibit dan perawatan terbaik, melainkan juga tanah yang juga sehat dan subur. Perumpamaan itu rasanya pas buat mengambarkan situasi mutakhir industri perfilman Indonesia.
Di balik kegairahan sekaligus kedigdayaan yang begitu kasat mata – dominasi poster film-film Indonesia di berbagai pusat perbelanjaan (tempat sebagian besar bioskop kini berada) serta tumpukan penonton di lobi-lobi bioskop terutama pada akhir pekan dan hari libur – diam-diam tersimpan “bom waktu” yang siap meledak sewaktu-waktu. Lahan yang selama 2008 ini saja ditumbuhi tak kurang 150 film bioskop (termasuk film digital dan yang sedang persiapan produksi) rupanya bukanlah tanah yang sehat dan subur. Sepuluh tahun reformasi, ternyata, belum juga menyentuh soal penting itu: peredaran film. Akibatnya, bukan tak mungkin industri yang sedang rebound ini akan luluh-lantak lagi, berputar balik ke tahun 2001 saat bangsa besar ini hanya sanggup memproduksi dua film bioskop.
Kenapa? Karena, apa boleh kuat, core sebuah industri (seberapa besar pun ia mengusung nilai-nilai ideal) adalah bisnis, alias matematika untung-rugi. Simpelnya, siapa berani membuat film jika tidak ada “jaminan” uang yang dihabiskan buat memproduksi bakal kembali?
Jaringan bioskop 21 yang menguasai lebih dari 90% peredaran film di Indonesia saat ini, setelah kemunculan jaringan Blitz Megaplex pada 11 Oktober 2008, sudah tiga kali menurunkan harga tiket masuknya. Hal itu menyebabkan bagian yang didapat produser semakin mengecil. Produser kini cuma mendapat bagian Rp 5.000 dari setiap tiket yang terjual. Artinya, film berbiaya Rp 3 miliar (termasuk promosi dan lain-lain) mesti bisa mengumpulkan sedikitnya 600.000 ribu penonton sekadar untuk balik modal. Padahal, bujet Rp 3 miliar saat ini cuma cukup buat memproduksi film standar — umumnya di-shot dengan kamera digital, bergenre drama atau action sederhana, dan tidak menggunakan lokasi-lokasi sulit atau mahal. Produser harus mengeluarkan biaya dua sampai empat kali lipat jika ingin mendapatkan standar teknis lebih baik dan berkreasi lebih bebas, seperti Laskar Pelangi misalnya.
Sebagai gambaran, sebanyak 62 film Indonesia yang diputar di jaringan 21 selama Januari sampai minggu kedua Oktober 2008 sudah menyedot 24 juta lebih penonton. Berarti, rata-rata sekitar 390.000 per film – masih jauh dari standar minimal 600.000 penonton. Belum lagi, ada beberapa film mengambil bagian sangat besar, seperti XL dan The Tarix Jabrix (hampir 1 juta), Tali Pocong Perawan (1 juta), Ayat-ayat Cinta (3,5 juta), serta Laskar Pelangi (hampir 4 juta lebih).
Dari 62 film itu memang hanya sepuluh atau sekitar 16% yang berhasil memperoleh 600.000 penonton lebih. Apalagi, terutama di daerah, film-film itu mesti berperang berebut penonton di dalam satu bioskop dengan sesama film Indonesia. Seandainya situasi ini terus berlangsung, cepat atau lambat “bom waktu” itu bakal meledak: produser berhenti berproduksi dan perfilman Indonesia kembali mati suri.
*****
Jika faktanya jumlah penonton memang relatif masih sedikit sehingga belum bisa menghidupi seluruh film Indonesia, mengapa yang disoroti soal peredaran?
Kita tak boleh menutup mata bahwa jaringan peredaran saat ini masih merupakan warisan kehancuran industri film sebelumnya, ketika bioskop-bioskop di seluruh Indonesia gulung tikar dan tinggal menyisakan jaringan 21 yang justru kian berkembang karena memonopoli impor film. Dari internet diketahui saat ini jaringan 21 memiliki 113 bioskop dengan total 476 layar di 36 kabupaten/kota. Dan – inilah muara persoalannya – film-film Indonesia terbaru hanya beredar hampir serentak di bioskop-bioskop tersebut. Di luar jaringan 21 – umumnya bioskop kecil di daerah yang jumlahnya terbilang jari – biasanya baru bisa memutar 3-5 bulan kemudian.
Jadi, meskipun jaringan 21 sudah bekerja sama dengan pihak lain dalam kepemilikan bioskop, rupanya mereka masih memonopoli peredaran film Indonesia. Kendati tidak ada UU atau regulasi yang mengatur soal itu, dalam prakteknya produser mana yang berani memilih menayangkan filmnya di bioskop lain (dengan hanya beberapa layar) dibanding 21 dengan jaringan yang begitu luas? Akibat lebih lanjut, siapa yang berani membangun bioskop baru jika tidak bisa memutar film-film Indonesia terbaru?
Blitz Megaplex, yang kini memiliki 47 layar di empat lokasi di Jakarta dan Bandung, selama dua tahun keberadaannya terus-menerus merasakan ketidakadilan yang membuatnya kesulitan mendapatkan film-film Indonesia terbaru. Padahal para produser pasti mau filmnya ditayangkan di lebih banyak bioskop tanpa harus memilih-milih.
Seharusnya, produser tidak perlu menghadapi dilema “memilih yang satu berarti kehilangan yang lain”. Semua pelaku bisnis ingin produknya bisa dijual di outlet mana pun yang cocok, potensial, dan menjanjikan pendapatan lebih besar. Yang mereka butuhkan adalah kekebasan.
Kebebasan itu jugalah yang kelak bakal menumbuhkan jaringan-jaringan bioskop baru sampai ke berbagai daerah. Bayangkan jika setengah dari 440 kabupaten/kota di Indonesia memiliki bioskop. Apabila satu bioskop rata-rata terdiri dari tiga layar, sedikitnya akan tersedia 660 layar, di luar Jakarta dan beberapa kota besar lain. Berharap 60 juta penonton film Indonesia dari sepersepuluh penduduk Indonesia yang kini 240 juta pasti bukan impian kosong.
Tentu bukan cuma produser yang bakal diuntungkan. Semua pihak akan menikmati manisnya kebebasan, dan mungkin baru menyadari pahitnya ketidakadilan. Para pekerja film paling dulu merasakan, karena jadi lebih leluasa mengembangkan tema-tema dan cerita yang lebih variatif dengan biaya produksi yang lebih memadai. Giliran berikutnya adalah penonton.
Sebagai stakeholder paling berkuasa karena merekalah yang membiayai industri film (melalui tiket yang dibelinya), ironisnya penonton justru pihak paling lemah dan selalu dirugikan. Dalam situasi seperti saat ini, misalnya, ketika produser mesti memeras otak habis-habisan karena semakin sulit mengembalikan modalnya, penontonlah yang pertama-tama terkena getahnya. Karena ingin “main aman”, hampir semua produser hanya berani membuat film dengan tema yang itu-itu saja: horor, cinta remaja, atau komedi seks. Akibatnya, penonton tidak punya banyak pilihan.
Sebelumnya sebagian besar penonton juga telah dizalimi karena tidak mendapat akses untuk menonton film-film digital, yang tidak pernah ditayangkan di jaringan 21 dengan alasan cuma bisa memutar seluloid 35 mm. Mengapa di era digital seperti sekarang bioskop tidak bisa (atau tidak mau) menayangkan video –padahal Blitz Megaplex mengaku sering mengimpor film-film asing yang dibuat dengan seluloid 35 mm justru dalam format digital– bukan urusan penonton. Padahal, seperti produser, bioskop juga hidup dari uang penonton.
Beruntung industri film Indonesia memiliki penonton yang baik. Ketika orang-orang film Indonesia beberapa waktu lalu (atau masih sampai sekarang?) saling bertikai buat mereformasi industri perfilman kita, dan penonton tidak pernah mengetahui atau merasakan hasilnya, mereka tetap berduyun-duyun mendatangi bioskop untuk menonton film Indonesia. Seandainya pun persoalan monopoli peredaran film ini tidak segera diperbaiki, dan sebagai akibatnya penonton terus dicekoki film-film yang semakin rendah mutunya, mereka juga tetap akan datang ke bioskop. Bahkan jika perfilman Indonesia kembali bangkrut – barangkali tidak lama lagi – karena skala ekonominya tidak tercapai, penonton juga tidak akan marah.
Berterima kasihlah pada penonton, karena mereka sudah mau mengongkosi orang-orang film, membiarkan bahkan ikut melestarikan ketidakadilan yang ujung-ujungnya merugikan penonton sendiri. Setidaknya, mereka tidak akan menuntut uangnya dikembalikan seperti para kreditur Lehman & Brothers.

0 komentar:

Posting Komentar