PROBLEMATIKA DI TENGAH KEBANGKITAN PERFILMAN INDONESIA

00.30 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA / komentar (0)

PROBLEMATIKA DI TENGAH KEBANGKITAN FILM INDONESIA
Senin, 27 Oktober 2008 17:41KapanLagi.com - Suksesnya film NAGABONAR JADI 2, AYAT AYAT CINTA, dan LASKAR PELANGI meraup keuntungan materiil dan jutaan penonton disebut-sebut banyak pihak sebagai era kebangkitan film Indonesia.
Lepas dari kesuksesan tersebut, masih muncul sejumlah persoalan krusial yang terjadi dalam dunia perfilman Indonesia.
Produser Kalyana Shira Films Nia Dinata mengatakan, masalah yang tengah terjadi dalam dunia film Indonesia saat ini adalah para sineas dan pelaku industri film yang serba instan dalam memproduksi sebuah film.
"Masalahnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah banyak produser atau rumah produksi yang bisa pesan tanggal penayangan filmnya ke bioskop jaringan di Indonesia, sementara ketika dia daftar filmnya itu belum jadi," kata produser film ARISAN! ini.
Kondisi tersebut, lanjutnya, berdampak pada kerja produksi yang terburu-buru dan hasilnya tidak maksimal. "Kalau saya tidak seperti itu, sebab sangat riskan. Bayangkan saja mereka baru akan bikin film tapi sudah pesan tanggal penayangan di bioskop. Akhirnya kalau sudah deadline penayangan maka penggarapan filmnya dipercepat dan selesai atau tidak pokoknya bagaimanapun juga harus jadi ," tuturnya menjelaskan.
Anggota Masyarakat Film Indonesia (MFI) Lalu Roisamril mengatakan, persoalan berikutnya adalah produk film yang dihasilkan masih cukup banyak berkutat di tema-tema yang sejenis.
Ia mencontohkan ramainya pasar film drama remaja setelah suksesnya film ADA APA DENGAN CINTA? dengan angka 2,7 juta penonton dan menjamurnya film-film horor setelah keberhasilan film JELANGKUNG meraih angka 1,6 juta penonton.
"Setelah kedua film itu sukses besar kita lihat banyak sekali film sejenis, bahkan hingga 2008 ini masih banyak film horor yang sebenarnya dalam segi tema masih berkutat pada cerita yang hampir sama," ujar Program Manajer Jakarta International Film Festival (Jiffest) ini.
Selain tema yang hampir semuanya seragam, persoalan berikutnya adalah soal desakan dari industri film dan televisi untuk memproduksi sebanyak mungkin karya pada akhirnya membuat karya yang dihasilkan para sineas menjadi berkurang kualitasnya.
"Saya beri gambaran begini, sekolah film kan cuma satu yaitu di Institut Kesenian Jakarta Jurusan Film dan Televisi. Di sini setiap tahun masuk sekitar 200 orang, dari jumlah itu sekitar 20 orang yang menjadi penulis naskah film dan akhirnya mengecil lagi jumlahnya menjadi lima orang saja yang benar-benar menjadi penulis naskah film," katanya.
Sisanya, lanjut Roisamril, banyak terserap ke industri televisi dan film yang serba instan dalam memproduksi film atau sinetron. Hal ini bukannya memacu kreativitas, namun justru membuat mereka cenderung mengejar tenggat waktu sehingga terburu-buru dalam menggarap naskahnya.
Persoalan ini kemudian menimbulkan persoalan baru, yakni bagaimana caranya untuk mendapatkan ide cerita dalam waktu singkat agar bisa segera diproduksi.
"Standarnya seperti turun, tetapi ketika akselerasinya sangat cepat, mungkin agak susah mengontrol kualitas filmnya. Sehingga yang agak aman bagi penulis naskah yang dikejar deadline adalah adaptasi dari film yang sukses di negara lain dan tinggal disesuaikan dengan konteks film Indonesia," katanya.
Kenyataannya, lanjut dia, banyak sekali produser film dan rumah produksi yang membeli royalti film-film asing di antaranya dari India, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan, untuk kemudian siap diproduksi di Indonesia. Salah satunya adalah film LOVE yang disutradarai Kabir Bhatia dari Malaysia. Film produksi 13 Entertainment ini mengadaptasi film berjudul CINTA yang juga disutradarai Kabir dan menuai kesuksesan di Malaysia.
Orisinil
Roisamri mengatakan keberhasilan dan kesuksesan film Indonesia sesungguhnya tidak hanya lewat jumlah penonton saja, namun dari ide-ide segar yang selalu berkembang dan berubah.
Film, lanjutnya, harus dipahami sebagai sebuah produk budaya yang artinya akan selalu bergerak dinamis. Sedangkan saat ini sebagian besar insan perfilman menganggap film merupakan industri yang bagaimanapun juga harus untung.
"Film sebagai industri kreatif maka seharusnya menawarkan hal-hal yang berbeda, tidak harus berkutat di tema-tema yang sama. Memang dunia film juga harus dipahami sebagai industri yang padat modal, tapi kalau kualitasnya bagus maka orang pasti akan datang untuk nonton," katanya.
Ia mencontohkan film EIFFEL I`M IN LOVE (2003) ditonton tiga juta orang, ADA APA DENGAN CINTA? (2001) ditonton sekitar 2,7 juta penonton, dan juga JELANGKUNG (1999) yang merupakan film berdana Rp400 juta tapi ditonton sampai 1,6 juta orang dan penonton yang sama banyaknya dengan film JELANGKUNG juga diraih PETUALANGAN SHERINA (2000).
"Mereka berhasil meraih keuntungan sekaligus jumlah penonton yang banyak karena mereka berani untuk tampil beda dengan ide-ide segarnya, misal dalam bentuk alur cerita yang berbeda, muatan nilai moral di dalam filmnya, serta pemilihan lokasi pengambilan gambar (tidak hanya di Jakarta dan sekitarnya)," ujar dia.
Ia melanjutkan, pengaruh maraknya sinetron kejar tayang di stasiun televisi dan menjalarnya budaya instan itu ke dunia film, membuat orang cenderung tidak menguasai konteks dan perspektif.
"Lihatlah misalnya film yang dibuat oleh Asrul Sani, Teguh Karya, dan Sjumanjaya. Mereka master di bidang film, latar belakang mereka adalah sastra dan dan main di teater juga sehingga mereka tidak berpikir soal uang saja, tapi juga melihat persoalan sehari-hari dan mengangkatnya ke film," katanya.
Dengan kata lain, Roisamril melanjutkan, para sineas itu betul-betul menggunakan film untuk menyampaikan pesan tertentu, daripada sekedar bikin film untuk uang atau keuntungan semata.
Lokalitas
Sutradara dan produser film Mira Lesmana mengungkapkan, lokalitas film LASKAR PELANGI merupakan salah satu daya tarik bagi penonton. Hal ini penting untuk mendekatkan penonton dengan realita dan persoalan yang ada di masyarakat sekitar mereka.
Film dalam waktu kurang dari dua pekan sejak pemutaran perdana ini sukses menembus angka 1,3 juta orang, angka yang belum dicapai film-film Indonesia lainnya.
Mira mengungkapkan, sejak awal para sineas dan tim kreatifnya benar-benar keluar dari ide-ide yang sudah ada sebelumnya. Bersama sutradara Riri Riza, Mira memboyong seluruh penggarapan film ini di Belitung dan merekrut pemain-pemain baru dari anak-anak daerah Belitung juga.
"Penting sekali mengangkat lokalitas dalam sebuah film. Saya sendiri berkomitmen untuk mengangkat keragaman budaya dan masyarakat Indonesia dalam film karena itu adalah gambaran bangsa kita sendiri," katanya.
Film LASKAR PELANGI berkisah tentang perjuangan dua guru SD Muhammadiyah dan sepuluh muridnya untuk bertahan mendapatkan pendidikan. Film ini diangkat dari novel best seller karya penulis kelahiran Belitung, Andrea Hirata.
Cerita Laskar Pelangi berlatar belakang kehidupan di Pulau Belitung pada pertengahan tahun 1970an. Novel Laskar Pelangi berisi kisah anak-anak Belitung yang inspiratif, penuh semangat, dan kemauan untuk bekerja keras.
Film itu dibintangi 10 anak asli Belitung yang berperan sebagai anggota Laskar Pelangi dan gambar film ini juga memberi warna baru sinema Indonesia pada tahun ini dengan diangkatnya Belitung sebagai sebuah pulau di Indonesia yang sangat indah.
Pemandangan alam dan laut Belitung yang asri cukup menyegarkan mata penonton yang selama ini sering dijejali sinema berlokasi di kawasan Jakarta dan Bandung dengan gedung-gedung pencakar langit dan kehidupan mewah.
Mira mengatakan, dalam membuat film, ia mencoba berada di tengah-tengah antara kepentingan pasar dan idealisme, seperti halnya dalam film LASKAR PELANGI.
"Film adalah hiburan, itu memang benar. Tapi jangan lupa bahwa film adalah produk budaya yang merupakan cermin dari masyarakat dan cermin orang Indonesia. Sebagai sineas saya juga bertanggung jawab dan peka untuk mengangkatnya dalam sebuah film," demikian kata produser film GIE! dan PETUALANGAN SHERINA ini. (kpl/cax)

PERFILMAN INDONESIA BANGKIT DARI KUBUR

00.25 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA / komentar (0)


Perfilman Indonesia Bangkit Dari Kubur
Diposting dalam Umum 21 October 2007
Setelah mati suri, kini perfilman Indonesia telah bangkit dari kuburnya, banyak sekali film-film baru yang diproduksi oleh insan perfilman Indonesia, indikator sederhana adalah di Studio 21 Citos, minggu ini saya lihat ke-4 studionya itu menayangkan film Indonesia semuanya, ironisnya 3 dari 4 Film Indonesia adalah Film Horor atau Film Hantu atau Film Setan. yaitu:
Sundel Bolong, Kuntilanak 2 dan Pocong 3. Sedangkan sisanya adalah Film Drama Komedi yaitu Get Married. Bukan hanya itu saja, sebelumnya juga banyak sekali film horor Indonesia yang mendominasi industri perfilman tanah air. Dari mulai Jelangkung, Suster Ngesot, Bangsal 13, Lantai 13, sampai yang bakal tayang nanti yaitu Suster N yang dibintangi oleh Dominique Sanda. Ternyata Perfilman Indonesia benar-benar Bangkit Dari Kuburnya sampai-sampai semua film Indonesia itu adalah Film yang ceritanya tentang Kuburan, yaitu setan dan hantu.
Film-Film yang ditayangkan di Studio 21 CITOS

Fenomena ini tidak terlepas dari tujuan komersil sang Produser. Karena membuat film horor tidak perlu berfikir yang susah-susah, ide cerita sudah ada dan beredar di masyarakat yang bersumber dari mitos-mitos (walaupun sebelumnya mereka juga survey tentang mitos itu), membuatnya bisa cepat, tidak seperti film sejarah zaman dulu yang harus memakan banyak waktu dan biaya yang lebih besar, dan produser dan sutradara akan senang kalau kita merasa ketakutan setelah menonton film mereka, meskipun terkadang kita bukan takut, tapi kita kaget. Kaya film Pocong, yang bisanya membuat kaget saja. Jadi yang penting penonton teriak saja, itu berarti sudah berhasil film horornya, tidak ada unsur edukasi dan pesan moral yang disampaikan oleh film itu.
Fenomena ini juga akan tetap terus berlangsung selama pasar masih mempunyai minat untuk ditakut-takuti dan dikagetkan oleh film horor. Ya selama masih banyak yang nonton film horor ya selama itu juga film horor akan terus-terusan diproduksi. Produser hanya memikirkan kepentingan pribadinya, tanpa memikirkan dampak umum dari banyaknya film horor yang terus-terusan diproduksi.
Tujuan utama membangkitkan Industri Perfilman Indonesia yang mati suri memang berhasil sama seperti keberhasilan membangkitkan rasa takut para penontonnya terhadap setan/hantu bukan kepada TUHAN.
Tapi.. sebentar lagi akan ada film Indonesia baru yang berjudul FILM HOROR, dari judulnya pertama sih sudah bete, lagi-lagi film horor, eh ternyata FILM HOROR ini adalah film komedi, bukan film hantu. Jadi bisa dibilang Scary Movie versi Indonesia lah, walaupun kayaknya kita ngejiplak aja gitu, tapi lumayanlah untuk anti virus setelah kebanyakan nonton film serem, biar gak takut gitu sama hantu. hehehe… Tayangnya tanggal 29 November 2007, kita buktikan yah, apakah film-nya nora atau bagus?

HARU BIRU PERFILMAN INDONESIA

00.17 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA / komentar (0)

HARU BIRU PERFILMAN INDONESIA
Jangan biarkan nasib film Indonesia seperti gedung bioskop kami. Buka mata, buka hati, cintai film indonesia, karena kalau bukan kita siapa lagi?Sebuah ungkapan pembuka dalam acara Indonesian Movie Awards. Begitu mengharu-biru mengungkapkan sebuah ironi tentang perfilman yang dikhawatirkan akan bernasib seperti sebuah bioskop tua yang rapuh dan penuh bau pesing.Mengikuti sejarah panjang perfilman Indonesia. Topik lama ini sudah dua dekade lamanya menjadi bahan perbincangan kalangan pemerhati film Indonesia. Film-film Indonesia selama dua dekade ini (1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat dalam. Film-film yang dihasilkan belum bisa dikatakan layak untuk dikonsumsi masyarakat –sebagian besar. Dari sisi sinematografi, ideologi, pesan moral dan yang lainnya masih jauh dari yang diharapkan.Sudah barang tentu kondisi memprihatinkan ini patut mendapat perhatian besar dari anak bangsa, khususnya para sineas dan insan perfilman Indonesia. Menyelesaikan beberapa masalah yang menggelayuti para sineas, UU Perfilman hingga Rumah Produksi kudu dilakukan supaya wajah perfilman nasional bisa semakin terang dan cerah di hari esok.Produksi Perfilman NasionalDulunya, film-film Indonesia mengalami penurunan secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, film Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Berikut ini tabel data jumlah produksi film nasional sejak tahun 1987 yang diambil dari Pusat Perfilman Usmar Ismail:Dalam catatan sejarah, film dokumenter-lah yang pertama kali diputar di Indonesia. Tepatnya tanggal 5 Desember 1900 di salah satu rumah di Batavia. Film dokumenter itu berkisah perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di Den Haag. Sedangkan film lokal pertama Loetoeng Kasaroeng oleh NV Java Company dimunculkan baru pada tahun 1926.Setelah itu, Bapak Film Indonesia, Usmar Ismail membangun studionya pada tahun 1950 dan TVRI (Televisi Republik Indonesia) mengudara untuk pertama kalinya 12 tahun setelahnya. Fakta ini bisa dicermati dari artikel di blog sumpahpramuka.wordpress.com berjudul Fragmented History (2006).Dalam kurun masa 60-an, perfilman nasional mulai menggeliat walaupun lebih tepat jika dibilang kembang-kempis. Hal ini terkait dengan suasana politik dan keamanan negeri yang belum stabil. Tentunya sama-sama diingat masa tersebut adalah masa peralihan dari Orla ke Orba yang penuh dengan ketegangan. Arus perfilman kala itu bahkan sangat monoton dan miskin kreasi. Propaganda-propaganda politik dan pembangunan bangsa banyak menjejali isinya.Baru pada tahun 70-an, produksi film-film Indonesia mulai bernapas. Film-film karya anak bangsa lahir dengan salah satu bintang terkenalnya waktu itu, Suzanna. Namun seiring dengan laju positif tersebut, film-film Hollywood masuk tidak terkontrol dan bersaing sengit dengan film-film lokal. Insan film Indonesia seperti tak bisa berkutik menghadapi arus film impor --meskipun kuota film impor sudah ditekan sedemikian rupa-- yang semakin diminati masyarakat.Situasi ini menurut Ade Irwansyah, mantan wartawan Bintang Indonesia mendorong para sineas bereaksi. Akan tetapi, alih-alih memperbaiki mutu film yang mereka bikin, kebanyakan sineas mengkambinghitamkan banjirnya film impor. Protes ini didengar. Di zaman Menteri Penerangan Mashuri, keluar Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 51/Kep/Menpen/1976 yang mewajibkan importir film merangkap menjadi produser sebagai syarat untuk memasukkan film dari luar negeri.Kebijakan ini terbukti meningkatkan jumlah produksi film nasional. Pada 1977-1978 Direktorat Film Departemen Penerangan mengeluarkan 100 surat izin produksi film. Rupanya, importir yang jadi produser film dadakan ini tak mau melepaskan usahanya mengimpor film luar negeri. Walhasil, film-film yang bermunculan lumayan banyak meskipun sangat memprihatinkan jika dinilai dari segi kualitas.Data ini seperti yang dikutip Ade Irwansyah dari bukunya Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia (1991).Pergulatan antar film lokal versus film impor semakin meruncing dan berakhir dengan hancur-leburnya kreativitas sineas-sineas Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada klimaksnya tahun 90-an. "Jaringan 21" atau "Cineplex 21" yang menjadi distribusi dan pemasok fillm bisa disebut telah berhasil menghancurkan imej perfilman nasional. Dengan alasan kualitas, film-film nasional sama sekali tidak mendapat jatah di bioskop-bioskop elit yang dulu dirintis Subentra Grup ini. "Kelas B" menjadi label perfilman nasional. Genre-nya yang populer ketika itu adalah komedi-horor-erotis.Sebenarnya krisis ini bukan hanya disebabkan hegemoni film-film Amerika saja. Namun, otoriternya pemerintah yang melarang ini-itu dalam produksi film juga ikut andil. Plus sisi komersil para produser yang over dilengkapi dengan sineas-sineas zaman itu yang kebanyakan berbekal pengalaman saja. Mayoritasnya mereka bukan yang terjun di dalam kancah perfilman setelah melewati jenjang pendidikan tentang sinematografi.Perfilman Indonesia mulai bangkit dari keterpurukan dan mulai menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Memang pada paceklik produksi yang terjadi tahun 1998-1999, hanya empat judul film yang dikeluarkan. Tapi tahun-tahun berikutnya, jumlah film yang diproduksi semakin meningkat jumlahnya, kecuali pada tahun 2001 hanya diisi oleh tiga judul film.Tahun 2000-an, banyak sekali film-film baru yang diproduksi oleh insan perfilman Indonesia. Ironisnya tiga dari empat film Indonesia adalah film horor atau film hantu, seperti Sundel Bolong, Kuntilanak 2 dan Pocong 3. Sedangkan sisanya adalah film drama komedi, Get Married.Krisis Ideologi PerfilmanImron Supriyadi seorang jurnalis lepas berdomisili di Sumsel menganalisa bahwa baik pihak LSF (Lembaga Sensor Film), para sineas dan insan perfilman Indonesia bisa dikatakan sedang mengalami krisis ideologi. LSF yang dibawahi pemerintah harus mensensor film berdasarkan paham atau ideologi yang kaku dan doktrinal.Para sineas yang kerjaannya menulis naskah sebenarnya juga berada di posisi yang dilematis. Tuntutan idealismenya untuk menghadirkan sebuah film yang mendidik dan mencerahkan mengalami tarik menarik dengan tuntutan komersil para produser atau Production House (Rumah Produksi).Pada akhirnya, sineas dan Rumah Produksi tidak berani mengambil resiko berurusan dengan pemerintah. Hasilnya bisa dibayangkan dengan rendahnya mutu dan kualitas film Indonesia jika ditilik dari sisi ideologinya.Merupakan suatu hal yang tidak aneh kalau sepuluh tahun lebih dunia perfilman Indonesia sempat terpuruk. Karena salah satu penyebabnya adalah para produser dan rumah produksi lebih mengedepankan selera pasar, ketimbang moralitas.Betapa tidak? Tahun 1992, film Ramadhan dan Ramona --yang menjadi film terbaik 1992-- adalah akhir dari dunia perfilman. Sejak itu FFI terkubur hingga tahun 2003 karena konon "diserang" habis oleh sinetron televisi. Ini alasan selain dari sisi komersil. Tetapi kenyataannya berkata lain. Keduanya rupa-rupanya bisa berjalan secara sinergi, walaupun dari segi bisnis tetap berkompetisi.Yang menarik dari analisa Garin Nugroho dalam artikelnya Film Indonesia, Antara Pertumbuhan dan Kecemasan (1993) adalah krisis 1992 ini --setelah krisis pertama pada tahun 1957 dengan penutupan studio Usmar Ismail-- tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980. Yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video dan radio. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap.Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya kualitas teknis karyawan film.Lebih parah lagi, kata Imron, film-film Indonesia sama sekali kalah berbanding dengan film-film India, Korea dan Jepang dari segi ideologi. Film-film nasional lebih lambat berjalan soal menaikkan mutu dan kualitasnya. Hal ini tidak bisa dibantah bahwa penyebab utamanya adalah faktor tekanan dari pemerintah dan kultur sosial-budaya bangsa terkait.Di India, Korea dan Jepang telah menjadi hal biasa untuk melakukan kritik langsung terhadap pemerintah. Tidak peduli yang dikritik adalah raja, perdana menteri, polisi, tentara atau yang sepadannya. Sedangkan di Indonesia hal tersebut masih dikatakan tabu atau absurd. Contohnya adalah film Marsinah-nya Slamet Raharjo (2001) yang dianggap mengganggu wibawa TNI dan memprovokasi rakyat untuk kritis terhadap aparat pemerintah. Akhirnya, film itu dilarang beredar.Tapi, inilah Indonesia. Dengan sistem dan pola pikir sebagian pemegang kebijakan negeri ini yang belum berubah akan mengakibatkan masyarakat Indonesia juga tidak pernah terdidik untuk menonton film yang berkualitas secara ideologis.Maka pada masa Orba, film-film garapan Garin Nugroho seperti Daun di atas Bantal dan Pasir Berbisik juga dilarang. Sementara pada era reformasi pun, film-film Garin Nugroho juga tidak laku di beberapa daerah. Tetapi, siapa menyangka justru film-film Garin mendapat penghargaan di luar negeri sementara negeri sendiri tidak memberikan penghargaan.Olahan data dari artikel berjudul Fragmented History (2006) yang disarikan dari buku Kamera Subyektif Rekaman; Perjalanan dari Sinema Jemuran ke Art Cinema (2006) karya Gotot Prakosa menyebutkan fakta menarik. Tekanan kuat pemerintah dan komersialisasi para produser bukan menjadi penghalang para sineas untuk terus berkarya dan berkreasi menurut ideologi perfilman yang mereka pahami.Mahasiswa sinematografi LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) sekarang IKJ (Institut Kesenian Jakarta) membentuk komunitas film mini pada tahun 1973 yang disebut "Sinema 8". Program kerja grup ini menghasilkan film-film independen atau eksperimental untuk berkuasa atas ruang karya yang dikekang oleh pemerintah dan produser ketika itu.Secara kualitas, mulai akhir tahun 1990-an film Indonesia banyak didominasi oleh film-film panas seperti Bebas Bercinta, Gairah Malam yang Kedua, Gairah Terlarang atau Permainan Binal dan lain-lain. Film-film panas ini biasanya mendompleng film-film silat atau horor. Bahkan ada pula yang menyajikan seks sebagai bahan sajian utama pada film itu. Walaupun sejatinya pada era 80-an, model film "esek-esek" ini sudah membaur dalam belantika perfilman nasional. Hanya saja belum termasuk kategori keterlaluan.Kang Yayat sebutan Yayat R. Cipasang penulis artikel di sejumlah media swasta dan nasional mengamini hal tersebut. Bahkan tambahnya dalam artikel Selamat Tinggal Generasi Nurnaningsih! (2005), sejak zaman paska-kemerdekaan sebenarnya sudah muncul artis panas dalam film-film 17 tahun keatas.Sebut saja, Nurnaningsih (alm.) yang sempat menjadi ikon bintang panas Indonesia era 50-an. Kemudian hampir setiap dekade ada saja yang memunculkan film-film berkualitas "rendah" plus para bintangnya yang seakan tidak pernah habis. Isinya hanya pengumbaran nafsu dan hasrat seksual tanpa dibarengi nilai-nilai moral yang bisa diinsafi. Fenomena menyedihkan ini semakin membuat rasa pesimis para pekerja perfilman yang peduli dan bercita-cita untuk menghasilkan film-film bermutu bagus.Setelah "mati suri" dengan film-film panas yang meramaikan tahun 90-an, kini perfilman Indonesia telah bangkit dari kuburnya. Petualangan Sherina (2000) mampu mendobrak popularitas film nasional dengan gaya drama komedi musikal pada akhir tahun 90-an.Bioskop-bioskop Cineplex 21 yang semula menolak keras film-film lokal lantas membuka pintu selebar-lebarnya bagi karya sineas-sineas muda Indonesia. Berturut-turut film semisal Ada Apa Dengan Cinta? (AADC?), Eiffel I’m In Love, Virgin, Heart, Arisan, Berbagi Suami, Jomblo, GIE, Mendadak Dangdut dan Get Merried memenuhi poster depan gedung-gedung jaringan bioskop kelas wahid itu.Warna baru film Indonesia ditandai dengan hadirnya film-film Garin Nugroho. Masa generasi perfiman terdidik mulai hadir. Para sineas muda lulusan sekolah dalam maupun luar negeri ini berbekal pengetahuan film dan intuisi yang tajam. Garin misalnya mampu membaca apresiasi masyarakat akan film nasional dengan baik. Debutnya dalam Cinta Dalam Sepotong Roti (1991) membuat banyak kalangan tercengang. Film ini mendapat penghargaan Piala Citra dalam FFI (Festival Film Indonesia) tahun 1991 sebagai film terbaik.Hingga kini Garin telah mengoleksi penghargaan yang ironisnya sebagian besar malahan didapat dari festival film internasional seperti filmnya Rindu Kami Pada-Mu yang menjadi terbaik se-Asia di Osian’s Cinefan Festival ke-7 di New Delhi, India, 2005 silam.Sedangkan contoh lain film yang berkualitas dan diproduksi meluas serta diedarkan adalah Gie (2005). Nilai-nilai ideologis kuat sekali ditampilkan dalam sepanjang cerita. Isinya tentang kritikan mahasiswa di masa Orde Lama terhadap pemerintahan Soekarno. Setelah itu menyusul film-film lain seperti Berbagi Suami, Detik Terakhir, Ruang, Badai Pasti Berlalu dan lain-lain. Hal ini menurut Imron menunjukkan film Indonesia tidak lantas mati begitu saja menghadapi multi-problematika perfilman nasional.Imron Supriyadi yang telah menulis kumpulan cerpen Sedang Tuhan pun Bisa Mati (2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa tahun 80-an di televisi misalnya, masih ada dalam ingatan sinetron serial Aku Cinta Indonesia (ACI), Drama Losmen karya Irwinsyah (alm.), Rumah Masa Depan (Ali Shahab), Serumpun Bambu, Dokter Sartika dan Jendela Rumah Kita. Sedang dalam layar lebar, masih di tahun 1981, masyarakat disuguhi film Di bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, Nagabonar, Serangan Fadjar, Di Balik Kelambu, Arie Hanggara, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Kembang Kertas, Cut Nyak Dien dan masih banyak lagi film yang memiliki pesan ideologis.Di sisi lain, ideologi film-film Amerika begitu gencar dipropagandakan di Indonesia. Jaringan 21 tidak bisa dikesampingkan sebagai salah satu bagian dalam proses pemindahan ideologi ini. Hal yang dikhawatirkan adalah kultur dan budaya Barat yang kontras bisa jadi malahan merusak tatanan sosial dan moral bangsa Indonesia.Akhir-akhir ini, bermunculan film-film genre horor yang jika dilihat dari segi ideologi kurang bertanggung jawab. Unsur komersil produser yang cenderung bermazhab "ide kacangan" terlihat jelas. Dalam hal ini, sineasnya hanya mengerjakan pesanan produser. Namun ironisnya, para penonton begitu lahap menikmati dan mengunyah "kacang" tersebut.Rumor tentang disidentitas perfilman pun menyeruak kembali setelah dulu tahun 90-an pernah pula terjadi. Film-film ini kurang begitu mencerdaskan dan tidak ada nilai-nilai edukasinya. Film tersebut hanya sekedar tontonan yang menghibur semata, tidak lebih.Tentunya harus diingat bahwa film, iklan dan sinetron sangat berpotensi guna menyusun sebuah opini publik. Bahkan tiga hal di atas bisa menjelma menjadi agama –meminjam istilah Jalaluddin rakhmat. Dengan peringatan ini, Imron yang juga pernah menjadi Ketua DPC Partai Nasional Banteng Kemerdekaan di Palembang menutup ulasannya.Film-film horor Indonesia yang tercatat mendominasi industri perfilman tanah air antara lain Jelangkung, Suster Ngesot, Bangsal 13 hingga Pocong vs Kuntilanak yang akan tayang awal Novembar ini. Para sineas "mazhab hantu" ini sepertinya tidak kehabisan tema garapan untuk film horor.Mari menyimak uraian Hikmat Darmawan, Redaktur Rumahfilm.org tentang lika-liku perjalanan film horor Indonesia dalam artikelnya Mengapa Film Horor (2) (2008). Menurut tulisan Wicaksono Adi dan Nurruddin Asyhadie dalam Paramarupa Film Horor Kita (2006 ), ada dua film yang bisa disebut sebagai film horor pertama Indonesia. Pertama, Tengkorak Hidoep (1941) dan kedua Lisa (1971).Jika kita kembali ke pengertian paling dasarnya, bahwa film horor adalah film yang dirancang untuk menerbitkan rasa takut, maka film Lisa lebih memenuhi syarat sebagai film horor Indonesia pertama.Adi dan Asyhadie menunjuk Jelangkung (2001, sutradara: Rizal Mantovani dan Jose Purnomo) sebagai penanda awal film horor jenis baru. Kedua penulis cukup jeli untuk mengenali bahwa film ini dipengaruhi oleh generasi film horor baru di Amerika, yaitu Scream (1996), dan di Jepang, Ringu (1997).Referensi Jelangkung memang bukan lagi film-film horor Indonesia lama. Film-film horor Indonesia sebelumnya mengambil sumber cerita dari folklore dengan setting "kampung" (sang kuntilanak, misalnya, masih harus nangkring di atas pohon rimbun dan bukan ikut masuk lift). Sementara film-film horor generasi Jelangkung mengambil sumber cerita dari khazanah urban legend di kota. Sekian uraian dari Hikmat yang telah banyak berkiprah dalam dunia media dan pers sebagai editor, penulis buku dan lain-lain.Lain halnya menurut Ilham Prisgunanto, salah seorang pemerhati film Indonesia, dalam tulisannya Film Nasional Indonesia Kehilangan Jati Diri (2002) yang dimuat Harian Sinar Harapan. Ia mengaku cukup resah dengan ideologi-ideologi baru yang dipasang oleh dunia perfilman Indonesia sekarang ini.Jika Imron di atas merisaukan krisis ideologi, maka Ilham di sini mengkritisi ideologi-ideologi baru yang telah ditelurkan sineas-sineas muda berbakat Indonesia.Adegan-adegan yang terkesan destruktif bahkan vulgar kerap dipertontonkan tanpa mengindahkan nilai-nilai etis ketimuran. Lebih lanjut ia juga mengkritik salah satu adegan yang ada dalam film Ada Apa Dengan Cinta dimana ketika itu Rangga (Nicolas Saputra) mencium Cinta (Dian Sastrowardoyo) di bandara.Kasus lain diungkap oleh Kang Yayat dalam artikelnya Selamat Tinggal Generasi Nurnaningsih! (2005) tentang film Bernapas dalam Lumpur (1970). Insan perfilman nasional saat itu sedang gencar-gencarnya membuat konsep dan berpikir keras untuk membuat film yang berkualitas. Namun, tiba-tiba iklim yang kondusif itu dibuyarkan dengan kehadiran film yang dibintangi Suzanna tersebut. Tragedi yang identik sama juga pernah terjadi di era 60-an.Sejak itulah ide membuat film berkualitas hanya sebatas pembicaraan dalam seminar dan diskusi terbatas. Pada 1989, Indonesia kembali heboh dengan kehadiran film Pembalasan Ratu Laut Pantai Selatan (PRLPS). Yurike Prastica yang menjadi bintang utama konon –maaf-- berbugil ria dengan bintang film asal Amerika.Belakangan, ketika sineas muda tengah berjuang memproduksi film berkualitas tiba-tiba diusik dengan kehadiran Buruan Cium Gue (2004), produksi Multivision Plus. Peredaran film ini mendapat resistensi dari masyarakat dan akhirnya ditarik dari peredaran.Kesimpulannya, baik Ilham maupun Yayat khawatir jika perfilman Indonesia nantinya lolos dari krisis ideologi lalu terjerembab ke krisis lainnya. Hal yang digarisbawahi oleh keduanya adalah perlunya memperhatikan batasan-batasan kultur asing yang tidak perlu ditransform secara mentah-mentah ke ranah film nasional
Ideologi yang Ideal Membincangkan ideologi yang pas untuk perfilman nasional akan menarik jika mengamati tulisan Gatot Arifianto Mengembalikan Kultur Perfilman Indonesia (2007) yang disarikan dari Harian Bernas. Terlebih dahulu perlu diingat perkataan Errol Morris, “Film adalah media bebas berekspresi, suatu karya yang menggabungkan ilmu pengetahuan, filosofi dan puisi dalam suatu proses atau sebaliknya, yang bisa membangun dan membudayakan suatu negara."Seperti yang dikemukakan empu film-film menegangkan, "Master of Suspense" Alfred Hitchock, film yang bagus adalah yang mampu memikat penonton dan mampu membuat mereka berkata setelah keluar dari bioskop.Menjadi harapan bangsa ini bahwa sineas-sineas muda film-film indie, eksperimental, underground atau yang di atasnya bukan sekedar "obor-obor belarak" belaka. Tetapi senantiasa menunjukkan eksistensinya tentang wajah perfilman Indonesia yang baru, menantang, yang bisa dipertanggungjawabkan secara artistik, estetik dan moral.Rumusan ideologi ini tidak hanya menyampaikan pesan-pesan propagandis pemerintah, namun harus kritis dan cerdas. Juga memenuhi tuntutan moral serta etika bangsa.UU Perfilman yang dirasa akan menghambat laju perfilman nasional boleh digugat secara hukum. LSF yang bergerak atas dasar UU Perfilman pun harus arif dan bijak dalam melaksanakan tugasnya. Insan-insan perfilman juga layak memperhatikan kultur maupun norma-norma yang berlaku di bangsa ini. Kemajuan sinematografi para sineas Indonesia seharusnya disesuaikan dengan budaya Tanah Air.Representasi Film IslamiTapi, sekali lagi, benarkah film dapat menyebarkan sebuah ideologi? Tidak sesederhana itu. Dalam pengembangan makalah Dunia Santri dalam Film (2008), Ekky Imanjaya menyebutkan nama Christine Gledhill dalam Genre and Gender; The Case of Soap Opera (Stuart Hall, 2003) yang bertanya: "Realita yang mana? Realita apa? Menurut siapa?" Bagi Gledhill, bukan dunia materi yang membawa makna, tapi sistem bahasa atau sistem apa pun yang kita gunakan untuk merepresentasikan konsep kita. Manusia sebagai aktor sosial-lah yang membangun makna.Setelah film Ayat-Ayat Cinta (2008) sukses, banyak sekali film religius bernafaskan Islam yang beredar --baik yang menampilkan kebaruan atau sekadar mendompleng kelarisannya saja. Apakah semuanya layak dimasukkan dalam kategori film islami?Pembicaraan tentang definisi film Islam, film islami atau film dakwah seolah tak berujung. Mungkin bisa kita ambil contoh beberapa film untuk menggambarkannya. Misalnya Sang Murabbi, Doa yang Mengancam, Kantata Takwa, Ayat-Ayat Cinta, dan terakhir Laskar Pelangi. Masing-masing berusaha menampilkan wajah Islam dalam perspektif yang berbeda. Bahkan untuk film Laskar Pelangi (Andrea Hirata, 2008), Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan bahagia sekaligus sedih menyaksikan film ini.Dia sedih karena ada sekolah Muhammadiyah yang bernasib seperti itu, bahagia karena ada sosok seperti Pak Harfan dan Bu Muslimah. Dia pun tak segan mengajak segenap warga Muhammadiyah dan para pejabat, termasuk presiden, untuk menontonnya agar bisa mengambil pelajaran darinya.Film-film yang merepresentasikan umat Islam dan aplikasi ajarannya --tidak hanya syariat, tapi juga nilai-nilai seperti etika, kebersamaan dan gotong-royong-- secara langsung atau tidak langsung adalah sebuah media jihad dan perjuangan.Almarhum Nurcholis Madjid pernah menyatakan bahwa dimensi jihad tidak hanya jihad melawan (fight against), tetapi yang juga tak kalah penting adalah jihad untuk (fight for). Akhirnya film Rindu Kami pada-Mu (Garin, 2005) merepresentasikan jihad melawan ideologi Orde Baru secara halus. Sang Murabbi (2008) merepresentasikan jihad membentuk syakhsiyah islamiyah syumuliyah (kepribadian Islam yang sempurna), sebagai marhalah awal dalam membentuk masyarakat dan negara yang islami dengan prototipe-nya sang karakter utama.Dari komunitas Islam sendiri, berapa banyak film Indonesia yang bercerita tentang Islam dan umatnya yang beragam? Karena itu, saat Ayat Ayat Cinta difilmkan, penonton muslim berbondong-bondong ke gedung bioskop karena merasa keislaman mereka diangkat ke layar perak. Ada kerinduan di hati mereka. Tapi penonton juga cerdas. Mereka tahu ada juga film-film yang tidak sungguh-sungguh bercerita tentang Islam. Dan hasilnya mereka pun tidak menontonnya. ~

"BOM WAKTU" PERFILMAN INDONESIA

00.13 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA / komentar (0)

"BOM WAKTU" PERFILMAN INDONESIA

Tanaman yang sehat dan subur membutuhkan bukan hanya bibit dan perawatan terbaik, melainkan juga tanah yang juga sehat dan subur. Perumpamaan itu rasanya pas buat mengambarkan situasi mutakhir industri perfilman Indonesia.
Di balik kegairahan sekaligus kedigdayaan yang begitu kasat mata – dominasi poster film-film Indonesia di berbagai pusat perbelanjaan (tempat sebagian besar bioskop kini berada) serta tumpukan penonton di lobi-lobi bioskop terutama pada akhir pekan dan hari libur – diam-diam tersimpan “bom waktu” yang siap meledak sewaktu-waktu. Lahan yang selama 2008 ini saja ditumbuhi tak kurang 150 film bioskop (termasuk film digital dan yang sedang persiapan produksi) rupanya bukanlah tanah yang sehat dan subur. Sepuluh tahun reformasi, ternyata, belum juga menyentuh soal penting itu: peredaran film. Akibatnya, bukan tak mungkin industri yang sedang rebound ini akan luluh-lantak lagi, berputar balik ke tahun 2001 saat bangsa besar ini hanya sanggup memproduksi dua film bioskop.
Kenapa? Karena, apa boleh kuat, core sebuah industri (seberapa besar pun ia mengusung nilai-nilai ideal) adalah bisnis, alias matematika untung-rugi. Simpelnya, siapa berani membuat film jika tidak ada “jaminan” uang yang dihabiskan buat memproduksi bakal kembali?
Jaringan bioskop 21 yang menguasai lebih dari 90% peredaran film di Indonesia saat ini, setelah kemunculan jaringan Blitz Megaplex pada 11 Oktober 2008, sudah tiga kali menurunkan harga tiket masuknya. Hal itu menyebabkan bagian yang didapat produser semakin mengecil. Produser kini cuma mendapat bagian Rp 5.000 dari setiap tiket yang terjual. Artinya, film berbiaya Rp 3 miliar (termasuk promosi dan lain-lain) mesti bisa mengumpulkan sedikitnya 600.000 ribu penonton sekadar untuk balik modal. Padahal, bujet Rp 3 miliar saat ini cuma cukup buat memproduksi film standar — umumnya di-shot dengan kamera digital, bergenre drama atau action sederhana, dan tidak menggunakan lokasi-lokasi sulit atau mahal. Produser harus mengeluarkan biaya dua sampai empat kali lipat jika ingin mendapatkan standar teknis lebih baik dan berkreasi lebih bebas, seperti Laskar Pelangi misalnya.
Sebagai gambaran, sebanyak 62 film Indonesia yang diputar di jaringan 21 selama Januari sampai minggu kedua Oktober 2008 sudah menyedot 24 juta lebih penonton. Berarti, rata-rata sekitar 390.000 per film – masih jauh dari standar minimal 600.000 penonton. Belum lagi, ada beberapa film mengambil bagian sangat besar, seperti XL dan The Tarix Jabrix (hampir 1 juta), Tali Pocong Perawan (1 juta), Ayat-ayat Cinta (3,5 juta), serta Laskar Pelangi (hampir 4 juta lebih).
Dari 62 film itu memang hanya sepuluh atau sekitar 16% yang berhasil memperoleh 600.000 penonton lebih. Apalagi, terutama di daerah, film-film itu mesti berperang berebut penonton di dalam satu bioskop dengan sesama film Indonesia. Seandainya situasi ini terus berlangsung, cepat atau lambat “bom waktu” itu bakal meledak: produser berhenti berproduksi dan perfilman Indonesia kembali mati suri.
*****
Jika faktanya jumlah penonton memang relatif masih sedikit sehingga belum bisa menghidupi seluruh film Indonesia, mengapa yang disoroti soal peredaran?
Kita tak boleh menutup mata bahwa jaringan peredaran saat ini masih merupakan warisan kehancuran industri film sebelumnya, ketika bioskop-bioskop di seluruh Indonesia gulung tikar dan tinggal menyisakan jaringan 21 yang justru kian berkembang karena memonopoli impor film. Dari internet diketahui saat ini jaringan 21 memiliki 113 bioskop dengan total 476 layar di 36 kabupaten/kota. Dan – inilah muara persoalannya – film-film Indonesia terbaru hanya beredar hampir serentak di bioskop-bioskop tersebut. Di luar jaringan 21 – umumnya bioskop kecil di daerah yang jumlahnya terbilang jari – biasanya baru bisa memutar 3-5 bulan kemudian.
Jadi, meskipun jaringan 21 sudah bekerja sama dengan pihak lain dalam kepemilikan bioskop, rupanya mereka masih memonopoli peredaran film Indonesia. Kendati tidak ada UU atau regulasi yang mengatur soal itu, dalam prakteknya produser mana yang berani memilih menayangkan filmnya di bioskop lain (dengan hanya beberapa layar) dibanding 21 dengan jaringan yang begitu luas? Akibat lebih lanjut, siapa yang berani membangun bioskop baru jika tidak bisa memutar film-film Indonesia terbaru?
Blitz Megaplex, yang kini memiliki 47 layar di empat lokasi di Jakarta dan Bandung, selama dua tahun keberadaannya terus-menerus merasakan ketidakadilan yang membuatnya kesulitan mendapatkan film-film Indonesia terbaru. Padahal para produser pasti mau filmnya ditayangkan di lebih banyak bioskop tanpa harus memilih-milih.
Seharusnya, produser tidak perlu menghadapi dilema “memilih yang satu berarti kehilangan yang lain”. Semua pelaku bisnis ingin produknya bisa dijual di outlet mana pun yang cocok, potensial, dan menjanjikan pendapatan lebih besar. Yang mereka butuhkan adalah kekebasan.
Kebebasan itu jugalah yang kelak bakal menumbuhkan jaringan-jaringan bioskop baru sampai ke berbagai daerah. Bayangkan jika setengah dari 440 kabupaten/kota di Indonesia memiliki bioskop. Apabila satu bioskop rata-rata terdiri dari tiga layar, sedikitnya akan tersedia 660 layar, di luar Jakarta dan beberapa kota besar lain. Berharap 60 juta penonton film Indonesia dari sepersepuluh penduduk Indonesia yang kini 240 juta pasti bukan impian kosong.
Tentu bukan cuma produser yang bakal diuntungkan. Semua pihak akan menikmati manisnya kebebasan, dan mungkin baru menyadari pahitnya ketidakadilan. Para pekerja film paling dulu merasakan, karena jadi lebih leluasa mengembangkan tema-tema dan cerita yang lebih variatif dengan biaya produksi yang lebih memadai. Giliran berikutnya adalah penonton.
Sebagai stakeholder paling berkuasa karena merekalah yang membiayai industri film (melalui tiket yang dibelinya), ironisnya penonton justru pihak paling lemah dan selalu dirugikan. Dalam situasi seperti saat ini, misalnya, ketika produser mesti memeras otak habis-habisan karena semakin sulit mengembalikan modalnya, penontonlah yang pertama-tama terkena getahnya. Karena ingin “main aman”, hampir semua produser hanya berani membuat film dengan tema yang itu-itu saja: horor, cinta remaja, atau komedi seks. Akibatnya, penonton tidak punya banyak pilihan.
Sebelumnya sebagian besar penonton juga telah dizalimi karena tidak mendapat akses untuk menonton film-film digital, yang tidak pernah ditayangkan di jaringan 21 dengan alasan cuma bisa memutar seluloid 35 mm. Mengapa di era digital seperti sekarang bioskop tidak bisa (atau tidak mau) menayangkan video –padahal Blitz Megaplex mengaku sering mengimpor film-film asing yang dibuat dengan seluloid 35 mm justru dalam format digital– bukan urusan penonton. Padahal, seperti produser, bioskop juga hidup dari uang penonton.
Beruntung industri film Indonesia memiliki penonton yang baik. Ketika orang-orang film Indonesia beberapa waktu lalu (atau masih sampai sekarang?) saling bertikai buat mereformasi industri perfilman kita, dan penonton tidak pernah mengetahui atau merasakan hasilnya, mereka tetap berduyun-duyun mendatangi bioskop untuk menonton film Indonesia. Seandainya pun persoalan monopoli peredaran film ini tidak segera diperbaiki, dan sebagai akibatnya penonton terus dicekoki film-film yang semakin rendah mutunya, mereka juga tetap akan datang ke bioskop. Bahkan jika perfilman Indonesia kembali bangkrut – barangkali tidak lama lagi – karena skala ekonominya tidak tercapai, penonton juga tidak akan marah.
Berterima kasihlah pada penonton, karena mereka sudah mau mengongkosi orang-orang film, membiarkan bahkan ikut melestarikan ketidakadilan yang ujung-ujungnya merugikan penonton sendiri. Setidaknya, mereka tidak akan menuntut uangnya dikembalikan seperti para kreditur Lehman & Brothers.

GONJANG-GANJING PERFILMAN INDONESIA

00.00 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA / komentar (0)

GONJANG-GANJING PERFILMAN INDONESIA
Siapa penerima Piala Citra FFI (Festival Film Indonesia) paling banyak? Rekor Idris Sardi (10 Piala Citra dari 19 nominasi dalam 20 FFI, 1973-1992) baru saja dipecahkan oleh Jero Wacik. Menbudpar alias Menteri Kebudayaan dan Pariwisata itu kemarin menerima sekaligus 30 Piala Citra (2004-2006) dari para pekerja film (kebanyakan berusia muda) yang menyebut diri MFI (Masyarakat Film Indonesia). :-)
Pengembalian lambang supremasi tertinggi dalam perfilman Indonesia tersebut merupakan kelanjutan dari protes Riri Riza, Mira Lesmana, Nia Dinata, Joko Anwar, Hanung Bramantyo, dan seratusan pekerja film lain yang, pada 3 Januari lalu, mendeklarasikan “Surat Pernyataan Sikap Bersama” yang ditujukan kepada Menbudpar; Presiden RI; Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film Depbudpar; Sekretaris Ditjen Nilai Budaya, Seni, dan Film Depbudpar; Direktur Perfilman Depbudpar; Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional; dan anggota Komisi X DPR-RI.
Pada intinya mereka memprotes dua hal. Pertama, penyelenggaraan FFI 2006 yang telah melahirkan Ekskul (Nayato Fio Nuala) sebagai Film Terbaik. Dan kedua, sistem kelembagaan perfilman Indonesia yang masih dijalankan oleh lembaga dan organisasi bentukan Deppen (Departemen Penerangan) di masa Orde Baru. Berkaitan dengan itu mereka menuntut Depbudpar untuk:
Mencabut Piala Citra Film Terbaik untuk film Ekskul karena telah melakukan pelanggaran hak cipta dalam penggunaan ilustrasi musik
Menghentikan segera penyelenggaraan FFI
Membubarkan lembaga-lembaga perfilman yang ada, dan membentuk lembaga-lembaga baru, secara demokratis dan transparan
Mencabut UU No. 9 Tahun 1992 tentang Perfilman dan menggantinya dengan UU baru yang lebih mendukung kemajuan
Membuat rancangan yang strategis bagi perkembangan budaya dan ekonomi perfilman Indonesia dengan melibatkan para pelaku aktif perfilman Indonesia
Mengganti LSF (Lembaga Sensor Film) dengan sebuah Lembaga Klasifikasi Film
Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi, MFI mengancam akan memboikot penyelenggaraan FFI dan melakukan perlawanan secara terstruktur terhadap segala aktivitas yang mengatasnamakan “Perfilman Indonesia”. Pengembalian Piala Citra itu sendiri merupakan tanda keseriusan mereka terhadap tuntutan-tuntutannya.
Sejatinya, tuntutan membatalkan kemenangan Ekskul sebagai Film Terbaik FFI 2006 cuma entry point buat masuk ke tuntutan yang lebih hakiki: mereformasi politik perfilman nasional warisan Orde Baru. Namun banyak pihak yang tidak setuju dengan cara itu, termasuk Garin Nugroho dan kawan-kawan dalam kelompoknya. “Ekskul dan Nayato tidak punya salah apa-apa,” bela Garin.
Menurut saya, wacana “kemenangan Ekskul yang menggunakan musik jiplakan adalah bukti ketidakbecusan Dewan Juri dan Panitia Penyelenggara FFI” memang terlampau jauh dan salah alamat. Tugas Dewan Juri cuma menilai apakah musik dalam sebuah film fungsional. Gampangnya, apakah musik itu bagus atau tidak, cocok atau tidak, efektif atau tidak, buat membangun adegan atau cerita atau suasana. Dalam bahasa keren: menilai teks sebagai teks.
Di dalam kredit film — juga formulir pendaftaran FFI — dengan jelas disebutkan siapa orang yang bertanggung jawab sebagai Penata Musik (di film Ekskul: Eric Dewantoro). Panitia dan juri tentu saja mesti percaya, dan tak perlu menjadi detektif segala (untuk memeriksa legalitas setiap karya yang dinilai). Jika pun juri mengetahui bahwa musik itu milik orang lain, mereka tetap harus berasumsi baik bahwa si pemusik (atau produsernya) sudah memenuhi kewajiban hukumnya, termasuk membayar royalti. Toh jika kemudian ada tuntutan dari pemegang hak cipta, dan secara hukum terbukti ada pelanggaran hak cipta, yang mesti membayar ganti rugi atau dijebloskan ke penjara adalah pemusiknya (atau sutradara dan produsernya) — bukan Dewan Juri atau Panitia Penyelenggara FFI. :-)
Saya dan mungkin Anda juga belum tahu persis bagian mana saja dari UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang dituntut untuk diperbarui, selain soal Sensor Film (Pasal 33 dan 34) serta Pembinaan Perfilman (Pasal 36 dan 37).
Tuntutan membubarkan LSF, misalnya, mungkin cuma relevan untuk film bioskop. Padahal, dalam UU tersebut, yang dianggap film — dan dengan demikian diatur oleh UU itu — meliputi segala bentuk rekaman audio-visual yang ditayangkan secara terbuka, termasuk film televisi dan iklan. Sungguhkah 70% penduduk Indonesia yang rutin menonton televisi menurut survei Nielsen Media Research sudah siap menerima tayangan pornografi dan kekerasan tanpa sensor? Sementara itu, birokrasi pembinaan perfilman, yang menjadi sasaran utama protes MFI, detailnya diatur dalam sejumlah Peraturan Pemerintah. Bukan di UU tersebut.
Menuruti Peraturan-peraturan Pemerintah tersebut, saat ini pembinaan perfilman Indonesia — termasuk penyelenggaraan FFI — dilakukan oleh sebuah lembaga bernama Badan Pertimbangan Perfilman Indonesia (BP2N). Nah, sumber rekruitmen untuk BP2N berasal dari berbagai organisasi perfilman yang “resmi”, yaitu PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia), Gasfi (Gabungan Studio Film Indonesia), GASI (Gabungan Subtitling Indonesia), Perfiki (Persatuan Film Keliling Indonesia), GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia), KFT (Karyawan Film dan Televisi), serta Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia). Ketua BP2N saat ini, Djoni Syafruddin, sebagai contoh, adalah Ketua Umum GPBSI. Adapun Adisoerya Abdi, Ketua Pelaksana FFI 2006, adalah Sekjen PPFI. Begitupun para aktivis BP2N dan panitia FFI lainnya.
Persoalannya adalah, orang-orang yang saat ini menguasasi organisasi-organisasi perfilman “resmi” itu — dan kemudian duduk di BP2N serta menjadi panitia FFI — oleh para pekerja film muda yang tergabung dalam MFI dianggap sebagai orang lama, yang bukan cuma sudah tidak aktif dalam produksi-produksi film mutakhir, tetapi juga dianggap tidak memahami perkembangan zaman dan aspirasi terkini. Kalau dibalik: para pendukung MFI tidak ikut berperan dalam organisasi-organisasi perfilman “resmi” itu, sehingga tidak memiliki akses buat berkiprah dalam politik perfilman nasional. Ibaratnya, gimana mau jadi anggota DPR jika ogah masuk parpol?
Yang ganjil buat saya, MFI bermaksud mereformasi alias mengubah konstelasi politik perfilman nasional dengan meminjam tangan pemerintah. Alih-alih mengubah dengan tangan sendiri, mereka malah menuntut pemerintah melakukan ini dan itu. Kenapa jika tidak percaya pemerintah (jangan lagi ikut campur tangan seperti Deppen di masa Orde Baru) malah meminta tolong pemerintah untuk mewujudkan aspirasinya? Lepas dari itu, menurut saya sangat keterlaluan jika pemerintah, yang seharusnya cuma menjadi regulator dan berdiri di atas semua kepentingan, mau “dipinjam tangannya”.
Para pendukung MFI sendiri kelihatan enggan — atau memang tidak bisa? — melakukan kerja politik. Yang mereka lakukan (mengembalikan Piala Citra, memboikot FFI, dan sebagainya) sama nilainya dengan sekadar demonstrasi. Dengan kata lain, mereka mau mengubah dunia cuma dengan berdemo. :-)
Saya yakin akan lebih legitimate sekaligus terhormat jika para pekerja film yang tergabung dalam MFI mau melakukan kerja politik buat merebut kekuasan dari para “dinosaurus” yang kini menguasai BP2N dan kepanitiaan FFI.
Yang paling mudah adalah ramai-ramai masuk ke dalam organisasi-organisasi perfilman “resmi” itu, lantas merebut kekuasan secara legal dan elegan. Mira Lesmana, Shanty Harmayn, dan Nia Dinata jadi pengurus PPFI. Riri Riza, Joko Anwar, Hanung Bramantyo, Yudi Datau, dan lain-lain berkuasa di KFT. Tora Sudiro, Nicholas Saputra, dan Dian Sastro aktif dalam kepengurusan Parfi. Dengan begitu, mereka bisa mudah menguasai BP2N dan kepanitiaan FFI. Mira Lesmana jadi Ketua BP2N, Shanty Harmayn jadi Ketua Pelaksana FFI, Riri Riza dan para pendukung MFI lain menjadi Dewan Juri FFI. Dijamin, film Ekskul dan Nayato Fio Nuala sampai kiamat tak bakal bisa mendapat Piala Citra lagi, karena pemenang FFI selalu diborong film-film para pendukung MFI. Hahaha….
Jika sudah terlanjur alergi (atau mungkin tak mampu merebut kepercayaan anggota lama yang masih menguasai) organisasi-organisasi perfilman “resmi” itu, mereka bisa mendirikan organisasi-organisasi baru, lantas mendesak pemerintah untuk mengakuinya. Presedennya ada: AJI (Aliansi Jurnalis Independen) kini telah diakui sebagai stakeholder Dewan Pers, sejajar dengan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) bentukan Orde Baru.
Berbarengan dengan itu, mereka sudah harus mulai menyusun draft UU Perfilman baru yang menurut mereka ideal — berikut berbagai rancangan pelaksanaannya — untuk segera diserahkan kepada DPR dan pemerintah. Lantas melakukan berbagai lobi politik — bukan berdemo terus :-) — buat memuluskan dan mempercepat pengesahannya.
Eloknya memang semua komponen perfilman — yang lama maupun baru, yang tua maupun muda — tetap duduk bersama mengurusi perfilman Indonesia. Tak perlu ada pihak yang merasa lebih penting dan berhak, apalagi sampai saling mengancam. Jika para pekerja film muda itu benar-benar memboikot FFI, apakah mereka sudah siap jika ada komponen lain yang melakukan hal serupa, misalnya GPBSI memboikot pemutaran film-film pendukung MFI di semua bioskop?
Duh. Saya kok jadi semakin yakin, warisan terburuk Orde Baru sebetulnya bukanlah kesanggupan mereka mengerdilkan kehidupan politik di negeri ini, tetapi justru keberhasilannya menciptakan generasi baru bangsa yang apolitis: naif dan mau serba instan. Kepingin apa-apa tinggal menadahkan tangan pada pemerintah. Dan satu-satunya cara berpolitik yang dikenal cuma berdemo, alias unjuk rasa sembari mengancam…. :-)

LATAR BUDAYA PENONTON DI INDONESIA

23.56 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA / komentar (0)

Latar Budaya Penonton Film Indonesia.
Film Indonesia sekarang ini adalah kelanjutan dari tradisi tontonan rakyat sejak masa tradisional, masa penjajahan sampai masa kemerdekaan ini. Untuk meningkatkan apresiasi penonton film Indonesia adalah menyempurnakan permainan trick-trick serealistis dan sehalus mungkin, seni akting yang lebih sungguh-sungguh, pembenahan struktur cerita, pembenahan setting budaya yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, penyuguhan gambar yang lebih estetis dsb.
Peningkatan mutu filmis dari genre-genre film nasional yang laris sekarang ini dapat meningkatkan daya apresiasi film bermutu di lingkungan penonton urban yang marginal ini, tetapi mungkin juga dapat ditonton oleh golongan penonton yang terpelajar dan intelektual.
Golongan Penonton Film Indonesia yang Lain.
Ketidakadilan produksi film nasional sekarang ini terletak pada pelayanannya yang hanya kepada penonton 'berbudaya daerah' semacam di atas. Dugaan sementara bahwa golongan terpelajar di Indonesia dipenuhi selera seni pertunjukannya oleh film-film impor yang kondisi atau referensi budayanya cukup baik diapresiasi oleh mereka. Namun kondisi semacam ini tidak dapat terus menerus dilakukan karena film-film impor tersebut jauh dari sejarah, mitos, kondisi dan masalah-masalah Indonesia sendiri.
Untuk membuat film bermutu yang laris di semua golongan penonton dengan latar belakang budaya mereka yang berbeda-beda adalah dengan memberi kesempatan kepada para sineas.
Studi Kasus
Pusat Perfilman Usmar Ismail
Dibangun diatas tanah seluas 1,8 Ha di kawasan Kuningan Jakarta Selatan. Luas bangunan seluruhnya meliputi 11.550 M2 yang terdiri dari :
1. Bangunan induk (perkantoran) seluas 1.620 M2 terdiri dari 3 lantai :
Lantai I disewakan untuk kantor-kantor perusahaan perfilman.
Lantai II untuk kantor-kantor organisasi perfilman.
Lantai III untuk Kantor Pusat Perfilman dan Sinematek.
2.Ruang Preview, lobby, ruang proyektor, cafetaria dan ruang sidang sebanyak 3 buah keseluruhannya seluas 1.250 M2 . Ruang preview berkapasitas 200 orang dan dapat berfungsi sebagai ruang sidang dan pertemuan.
3.Gedung Bioskop seluas 3400 M2 dengan kapasitas 800 orang yang terdiri dari ruang mekanik, ruang menyimpan film, lobby dan gudang.
Kompleks Pusat Perfilman terdiri dari 3 buah gedung yaitu :
a.Gedung Bioskop yang terletak pada bagian depan komplek menghadap jalan Rasuna Said
b.Ruang Preview Room terletak dibagian belakang komplek
c.Gedung Pusat Perfilman yang terdiri dari kantor organisasi dan perusahaan perfilman, kantor Pusat Perfilman, dan Sinematek.
Gaya bangunan seperti juga bangunan-bangunan perkantoran yang dibangun pada tahun 70-an bergaya International Style, bercat putih dengan dominasi garis-garis horizontal. Bangunan ini baik exterior maupun interiornya tidak mencerminkan bangunan kesenian yang umumnya representatif.
Media Center, Hamburg, Germany
Arsitek : Medium Architekten
Lokasi : Ottensen, Hamburg
Ide membuat Media Center ini datang dari The Hamburger Filmburo - sebuah badan yang menyokong pembuat-pembuat film swasta- yang membutuhkan sarana perkantoran dan studio.
Media Center ini merupakan restrukturisasi dari bangunan lama yang sejak tahun 1868 berfungsi sebagai pabrik besi baja yang memproduksi baling-baling kapal. Pabrik ini bangkrut dan diubah fungsinya menjadi Media Center. Sejak 1970 Medium Architekten, Peter Wiesner, Thiess Jentz, Heiko Popp dan Jan Stormer menitik beratkan pada pembentukan kembali, pengembangan dan penambahan struktur bangunan tambahan yang dapat melayani penggunaan modern. Mereka menggambarkannya sebagai Soft Architecture yang mencangkokkan fungsi dan bentuk-bentuk baru pada bangunan lama. hasilnya berupa ekspresi dari struktur bata merah yang masif dengan rangka baja yang diekspos seperti struktur pabrik.
Di bagian manapun dari bangunan dapat terbaca masa lalu dan kekinian. Bangunan ini lebih sebagai sebuah sculpture darpada arsitektur. Seperti dalam perancangannya, Arsitek selalu membawa kapur dan menggambarkannya langsung di lokasi.
Ruang- ruang :
Film Cafe
Toko-toko dengan perkantoran diatasnya
Kompleks bioskop
Perkantoran untuk Perusahaan perfilman
Eisenstein Restaurant
Lembaga film dan teater
Perpustakaan film dan video untuk umum.
Arts Library, Seoul Arts Center.
Merupakan bagian dari komplek Seoul Arts Center yang terdiri dari Concert Hall, Calligraphy Hall, Festival Hall, Arts Gallery, Korean Music Center, dan Arts Library. Kompleks ini dibangun di atas tanah seluas 234.385 M2 dengan luas total bangunan 120.000 M2 . Arts Library ini memiliki total luas 23.175 M2 yang dibagi menjadi 4 lantai.
Pada Lantai Basement terdapat Perpustakaan Film yang memiliki 2 bioskop dengan kapasitas 100 dan 140 orang, studio workshop, ruang kuliah, ruang penyompanan film, dan perpustakaan rujukan. Perpustakaan ini menjadi tempat untuk mencari informasi, mempelajari, mengembangkan dan menyajikan program-program film dimana film dinikmati dan dipelajari sebagai salah satu bentuk seni.
Pada lantai 1 terdapat Ruang Pelayanan Referensi yang menyediakan berbagai informasi tentang seni. Di lantai ini juga terdapat Perpustakaan anak yang dimaksudkan untuk memperkenalkan seni pada anak-anak sejak dini.
Pada lantai 2 terdapat perpustakaan seni, koleksi barang cetakan dan ruang mikro film. Perpustakaan ini menggunakan sistem pelayanan komputer untuk memudahkan pencarian informasi.
Ruang Audio-Visual terdapat di lantai 3 yang dilengkapi dengan ruang-ruang saji untuk perorangan maupun kelompok.
Konsep Arts Library ini mengikuti Master Plan konsep Seoul Arts Center yaitu sebuah tempat interaksi. Interaksi antara Tua dan Muda, interaksi antara Barat dan Timur dan interaksi antara masa lalu dan masa kini. Hal ini terlihat dari ekspresi bangunan yang mencerminkan kombinasi antara teknologi Barat dengan bentuk-bentuk eksotis Dunia Timur.

KONDISI PERFILMAN DI INDONESIA

23.45 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA / komentar (0)

Kondisi Perfilman di Indonesia
Ada dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana status dan peranan film ditumbuhkan.
Film dilahirkan sebagai tontonan umum (awal 1900-an), karena semata-mata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan di masa depan manusia kota.
Film dicap 'hiburan rendahan' orang kota. namun sejarah membuktikan bahwa film mampu melakukan kelahiran kembali untuk kemudian mampu menembus seluruh lapisan masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan budayawan. bahkan kemudian seiring dengan kuatnya dominasi sistem Industri Hollywood, lahir film-film perlawanan yang ingin lepas dari wajah seragam Hollywood yang kemudian melahirkan film-film Auteur. Yakni film-film personal sutradara yang sering disebut sebagai film seni.
Dalam pertumbuhannya, baik film hiburan yang mengacu pada Hollywood ataupun film-film seni kadang tumbuh berdampingan, saling memberi namun juga bersitegang. Masing-masing memiliki karakter diversifikasi pasar, festival dan pola pengembangannya sendiri.
Sementara pada proses pertumbuhan film Indonesia tidak mengalami proses kelahiran kembali, yang awalnya dicap rendahan menjadi sesuai dengan nilai-nilai seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah ke atas, juga intelektual dan budayawan.
FIlm merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film -yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya.
Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam film
Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun 1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi film nasional sekitar 70 - 100 film per tahun). Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop. Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang.
Penurunan jumlah film maupun penonton di Indonesia sudah memprihatinkan. Jumlah penonton dalam skala nasional tahun 1977/78 - 1987/88 tercatat 937.700.000 penonton dan hingga tahun 1992 menurun sekitar 50 persen. Bahkan di Jakarta dari rata-rata 100.000 - 150.000 penonton, turun menjadi 77.665 penonton tahun 1991. Demikian juga dengan jumlah film, dari rata-rata 75 - 100 film pertahun, tahun 1991 / 92 menurun lebih daripada 50 % tahun 1993 surat izin produksi yang di keluarkan Deppen RI, sampai bulan Mei baru tercatat 8 buah film nasional untuk diproduksi.

Mengapa mereka menonton film Indonesia ?
Daya tarik utama mereka menonton film Indonesia karena
Mengetahui tema, cerita, jenis film seperti terlihat dalam poster dan iklan (60%).
Tertarik pada bintang utamanya (26%)
Resensi film di surat kabar dan majalah hanya 10 % dan inipun kebanyakan dari yang berusia 20 - 25 tahun.
Penggemar film di Indonesia
Kelompok 1.Cenderung memilih mutu film sebab menonton film bukan sekedar mencari hiburan tapi menikmati karya seni film dalam arti yang lebih luas.
Kelompok 2.Cenderung mengikuti arus. Pertimbangan mutu film tetap merupakan referensi bagi mereka.
Kelompok 3.Tidak terlalu memilih, sekedar mencari hiburan saja.
Penonton Film Indonesia.
Berdasarkan angket penonton tahun 1988 dan 1989 yang dilakukan di Bandung, penonton film Indonesia adalah sebagian besar berusia antara 15 - 35 tahun (90%) dengan tekanan usia pada 20 - 25 tahun (40%), lelaki (57%) dan wanita (43%) yang berpendidikan SMA dan perguruan tinggi sebanyak 42% sedangkan 50% mengaku abstain. Mereka ini mengaku menonton film Indonesia lebih dari sekali selama sebulan (59%) dan ada 12% yang menonton lebih dari 5 kali dalam sebulan.

FILM INDONESIA TERBAIK

23.37 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA / komentar (0)


FILM INDONESIA TERBAIK
Sudah sejak lama ada beberapa pihak baik itu institusi, media ataupun perorangan yang berusaha menggolongkan film-film Indonesia sepanjang masa yang layak menjadi film yang terbaik berdasarkan kategori-kategori tertentu. Salah satunya adalah tabloid Bintang Indonesia yang pada akhir tahun 2007 berusaha memilah film-film apa saja yang dapat dikategorikan sebagai film Indonesia terbaik. Dari 160 film yang masuk dipilihlah 25 film yang dapat dikategorikan sebagai film-film Indonesia terbaik sepanjang masa. Film-film tersebut dipilih oleh 20 pengamat dan wartawan film yakni: Yan Widjaya (wartawan film senior), Ilham Bintang (wartawan film senior), Ipik Tanojo (Bali Post), Eric Sasono (pengamat film), Arya Gunawan (pengamat film), Noorca M. Massardi (wartawan film senior), Yudhistira Massardi (Gatra), Leila S. Chudori (Tempo), Frans Sartono (Kompas), Yusuf Assidiq (Republika), Aa Sudirman (Suara Pembaruan), Taufiqurrahman (The Jakarta Post), Eri Anugerah (Media Indonesia), Sandra Kartika (Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid Teen), Telni Rusmitantri (Cek n Ricek), Ekky Imanjaya (situs Layarperak.com), Wenang Prakasa (Movie Monthly), Orlando Jafet (Cinemags), Poernomo Gontha Ridho (Koran Tempo), dan Ekal Prasetya (Seputar Indonesia)[2]. Ke-25 Film tersebut adalah:
Tjoet Nja’ Dhien (1986)
Naga Bonar (1986)
Ada Apa dengan Cinta? (2001)
Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)
Badai Pasti Berlalu (1977)
Arisan! (2003)
November 1828 (1978)
Gie (2005)
Taksi (1990)
Ibunda (1986)
Tiga Dara (1956)
Si Doel Anak Betawi (1973)
(Cintaku di) Kampus Biru (1976)
Doea Tanda Mata (1984)
Si Doel Anak Modern (1976)
Petualangan Sherina (1999)
Daun di Atas Bantal (1997)
Pacar Ketinggalan Kereta (1988)
Cinta Pertama (1973)
Si Mamad (1973)
Pengantin Remaja (1971)
Cintaku di Rumah Susun (1987)
Gita Cinta dari SMA (1979)
Eliana, Eliana (2002)
Inem Pelayan Sexy (1977)

SEJARAH FILM INDONESIA

23.35 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA / komentar (0)

SEJARAH
Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini dibuat dengan aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.[1] Setelah itu, lebih dari 2.200 film diproduksi.

TENTANG PERFILMAN INDONESIA

23.28 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA / komentar (0)

Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Nike Ardilla, Paramitha Rusady.
Pada tahun-tahun itu acara
Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.
Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film
Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.
Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film
Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Sherina (film oleh Joshua, Tina Toon), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata.
Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul
Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.
Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.