PROBLEMATIKA DI TENGAH KEBANGKITAN PERFILMAN INDONESIA

00.30 / Diposting oleh BLOG KITA TENTANG PERFILMAN INDONESIA / komentar (0)

PROBLEMATIKA DI TENGAH KEBANGKITAN FILM INDONESIA
Senin, 27 Oktober 2008 17:41KapanLagi.com - Suksesnya film NAGABONAR JADI 2, AYAT AYAT CINTA, dan LASKAR PELANGI meraup keuntungan materiil dan jutaan penonton disebut-sebut banyak pihak sebagai era kebangkitan film Indonesia.
Lepas dari kesuksesan tersebut, masih muncul sejumlah persoalan krusial yang terjadi dalam dunia perfilman Indonesia.
Produser Kalyana Shira Films Nia Dinata mengatakan, masalah yang tengah terjadi dalam dunia film Indonesia saat ini adalah para sineas dan pelaku industri film yang serba instan dalam memproduksi sebuah film.
"Masalahnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah banyak produser atau rumah produksi yang bisa pesan tanggal penayangan filmnya ke bioskop jaringan di Indonesia, sementara ketika dia daftar filmnya itu belum jadi," kata produser film ARISAN! ini.
Kondisi tersebut, lanjutnya, berdampak pada kerja produksi yang terburu-buru dan hasilnya tidak maksimal. "Kalau saya tidak seperti itu, sebab sangat riskan. Bayangkan saja mereka baru akan bikin film tapi sudah pesan tanggal penayangan di bioskop. Akhirnya kalau sudah deadline penayangan maka penggarapan filmnya dipercepat dan selesai atau tidak pokoknya bagaimanapun juga harus jadi ," tuturnya menjelaskan.
Anggota Masyarakat Film Indonesia (MFI) Lalu Roisamril mengatakan, persoalan berikutnya adalah produk film yang dihasilkan masih cukup banyak berkutat di tema-tema yang sejenis.
Ia mencontohkan ramainya pasar film drama remaja setelah suksesnya film ADA APA DENGAN CINTA? dengan angka 2,7 juta penonton dan menjamurnya film-film horor setelah keberhasilan film JELANGKUNG meraih angka 1,6 juta penonton.
"Setelah kedua film itu sukses besar kita lihat banyak sekali film sejenis, bahkan hingga 2008 ini masih banyak film horor yang sebenarnya dalam segi tema masih berkutat pada cerita yang hampir sama," ujar Program Manajer Jakarta International Film Festival (Jiffest) ini.
Selain tema yang hampir semuanya seragam, persoalan berikutnya adalah soal desakan dari industri film dan televisi untuk memproduksi sebanyak mungkin karya pada akhirnya membuat karya yang dihasilkan para sineas menjadi berkurang kualitasnya.
"Saya beri gambaran begini, sekolah film kan cuma satu yaitu di Institut Kesenian Jakarta Jurusan Film dan Televisi. Di sini setiap tahun masuk sekitar 200 orang, dari jumlah itu sekitar 20 orang yang menjadi penulis naskah film dan akhirnya mengecil lagi jumlahnya menjadi lima orang saja yang benar-benar menjadi penulis naskah film," katanya.
Sisanya, lanjut Roisamril, banyak terserap ke industri televisi dan film yang serba instan dalam memproduksi film atau sinetron. Hal ini bukannya memacu kreativitas, namun justru membuat mereka cenderung mengejar tenggat waktu sehingga terburu-buru dalam menggarap naskahnya.
Persoalan ini kemudian menimbulkan persoalan baru, yakni bagaimana caranya untuk mendapatkan ide cerita dalam waktu singkat agar bisa segera diproduksi.
"Standarnya seperti turun, tetapi ketika akselerasinya sangat cepat, mungkin agak susah mengontrol kualitas filmnya. Sehingga yang agak aman bagi penulis naskah yang dikejar deadline adalah adaptasi dari film yang sukses di negara lain dan tinggal disesuaikan dengan konteks film Indonesia," katanya.
Kenyataannya, lanjut dia, banyak sekali produser film dan rumah produksi yang membeli royalti film-film asing di antaranya dari India, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan, untuk kemudian siap diproduksi di Indonesia. Salah satunya adalah film LOVE yang disutradarai Kabir Bhatia dari Malaysia. Film produksi 13 Entertainment ini mengadaptasi film berjudul CINTA yang juga disutradarai Kabir dan menuai kesuksesan di Malaysia.
Orisinil
Roisamri mengatakan keberhasilan dan kesuksesan film Indonesia sesungguhnya tidak hanya lewat jumlah penonton saja, namun dari ide-ide segar yang selalu berkembang dan berubah.
Film, lanjutnya, harus dipahami sebagai sebuah produk budaya yang artinya akan selalu bergerak dinamis. Sedangkan saat ini sebagian besar insan perfilman menganggap film merupakan industri yang bagaimanapun juga harus untung.
"Film sebagai industri kreatif maka seharusnya menawarkan hal-hal yang berbeda, tidak harus berkutat di tema-tema yang sama. Memang dunia film juga harus dipahami sebagai industri yang padat modal, tapi kalau kualitasnya bagus maka orang pasti akan datang untuk nonton," katanya.
Ia mencontohkan film EIFFEL I`M IN LOVE (2003) ditonton tiga juta orang, ADA APA DENGAN CINTA? (2001) ditonton sekitar 2,7 juta penonton, dan juga JELANGKUNG (1999) yang merupakan film berdana Rp400 juta tapi ditonton sampai 1,6 juta orang dan penonton yang sama banyaknya dengan film JELANGKUNG juga diraih PETUALANGAN SHERINA (2000).
"Mereka berhasil meraih keuntungan sekaligus jumlah penonton yang banyak karena mereka berani untuk tampil beda dengan ide-ide segarnya, misal dalam bentuk alur cerita yang berbeda, muatan nilai moral di dalam filmnya, serta pemilihan lokasi pengambilan gambar (tidak hanya di Jakarta dan sekitarnya)," ujar dia.
Ia melanjutkan, pengaruh maraknya sinetron kejar tayang di stasiun televisi dan menjalarnya budaya instan itu ke dunia film, membuat orang cenderung tidak menguasai konteks dan perspektif.
"Lihatlah misalnya film yang dibuat oleh Asrul Sani, Teguh Karya, dan Sjumanjaya. Mereka master di bidang film, latar belakang mereka adalah sastra dan dan main di teater juga sehingga mereka tidak berpikir soal uang saja, tapi juga melihat persoalan sehari-hari dan mengangkatnya ke film," katanya.
Dengan kata lain, Roisamril melanjutkan, para sineas itu betul-betul menggunakan film untuk menyampaikan pesan tertentu, daripada sekedar bikin film untuk uang atau keuntungan semata.
Lokalitas
Sutradara dan produser film Mira Lesmana mengungkapkan, lokalitas film LASKAR PELANGI merupakan salah satu daya tarik bagi penonton. Hal ini penting untuk mendekatkan penonton dengan realita dan persoalan yang ada di masyarakat sekitar mereka.
Film dalam waktu kurang dari dua pekan sejak pemutaran perdana ini sukses menembus angka 1,3 juta orang, angka yang belum dicapai film-film Indonesia lainnya.
Mira mengungkapkan, sejak awal para sineas dan tim kreatifnya benar-benar keluar dari ide-ide yang sudah ada sebelumnya. Bersama sutradara Riri Riza, Mira memboyong seluruh penggarapan film ini di Belitung dan merekrut pemain-pemain baru dari anak-anak daerah Belitung juga.
"Penting sekali mengangkat lokalitas dalam sebuah film. Saya sendiri berkomitmen untuk mengangkat keragaman budaya dan masyarakat Indonesia dalam film karena itu adalah gambaran bangsa kita sendiri," katanya.
Film LASKAR PELANGI berkisah tentang perjuangan dua guru SD Muhammadiyah dan sepuluh muridnya untuk bertahan mendapatkan pendidikan. Film ini diangkat dari novel best seller karya penulis kelahiran Belitung, Andrea Hirata.
Cerita Laskar Pelangi berlatar belakang kehidupan di Pulau Belitung pada pertengahan tahun 1970an. Novel Laskar Pelangi berisi kisah anak-anak Belitung yang inspiratif, penuh semangat, dan kemauan untuk bekerja keras.
Film itu dibintangi 10 anak asli Belitung yang berperan sebagai anggota Laskar Pelangi dan gambar film ini juga memberi warna baru sinema Indonesia pada tahun ini dengan diangkatnya Belitung sebagai sebuah pulau di Indonesia yang sangat indah.
Pemandangan alam dan laut Belitung yang asri cukup menyegarkan mata penonton yang selama ini sering dijejali sinema berlokasi di kawasan Jakarta dan Bandung dengan gedung-gedung pencakar langit dan kehidupan mewah.
Mira mengatakan, dalam membuat film, ia mencoba berada di tengah-tengah antara kepentingan pasar dan idealisme, seperti halnya dalam film LASKAR PELANGI.
"Film adalah hiburan, itu memang benar. Tapi jangan lupa bahwa film adalah produk budaya yang merupakan cermin dari masyarakat dan cermin orang Indonesia. Sebagai sineas saya juga bertanggung jawab dan peka untuk mengangkatnya dalam sebuah film," demikian kata produser film GIE! dan PETUALANGAN SHERINA ini. (kpl/cax)